Sunday, May 20, 2012
Untuk Buana, Rahma dan Sophan.
Nota ini aku buat saat kalian mungkin sedang, untuk sekian kali seperti hari-hari yang lampau, berbual dan mengelabui audiens dengan pernyataan-pernyataan eksistensialisme, satirisme sosial dan apatisme politik khas kalian di atas seundak papan pementasan setinggi mata kaki orang dewasa. Atau mungkin juga lebih dari itu: mungkin ini malam kalian tengah menyulut keributan dari atas panggung raksasa dengan sistem pengeras suara tergantung menumpuk di kedua ujung sayapnya.
Di tempo yang lampau, belum juga itu tempo menjadi 'dahulu kala', aku juga ada di sana, kawan penyanyi, berusaha menjadi lebih gila darimu di atas petak kayu yang semestinya terlalu kecil untuk dijadikan arena sirkus, tapi kenyataan itu tak pernah berlaku untukmu.
Aku juga di sana sama-sama kegerahan, kawan penabuh dram, dan jika kau masih ingat, dalam satu pementasan, takkan lebih dari dua kali aku menengokkan kepala ke arahmu: yang pertama adalah ketika refrain lagu Let's Go To War-nya AC4 dan yang kedua adalah saat refrain kedua di lagu yang sama, hanya saja saat refrain kedua dimainkan, kau selalu tampak terusik dan jua terbakar oleh aku yang menjulurkan kepala dan berteriak hanya beberapa sentimeter di depan mukamu. Berbarengan kita selalu berteriak di refrain kedua, "Let's go to war. Fuck."
Itu kala, aku pun masih di sana, masih terus berusaha menyaingi atau menyeimbangi level keberingasan, kesepenuhhatian dan kebebasanmu, kawan bergitar, meskipun selalu di akhir hari aku terengah-engah kelelahan, tak sampai kemampuanku.
Di malam-malam pascabermain musik, kita adalah tokoh idola bagi setiap personil satu sama lainnya.
Di petang-petang berikutnya, setiap orang di tubuh kolektif ini adalah alasan bagi setiap lainnya untuk menggagalkan kencan bercinta tanpa kondom, adalah alasan untuk menggagalkan jadual latihan dan merelakan uang iuran fitness hangus, adalah alasan untuk menutup rapat-rapat pintu toko majikan sebelum waktunya dan juga berarti teguran keras di atas kertas surat peringatan, adalah alasan untuk bangun dan keluar kamar merelakan masa berleha-lehanya dipakai; untuk hanya berkumpul di sebuah kubikal 8x6 meter persegi di bilangan Antapani, Bandung: orang bilang kita sedang "latihan band".
Di siang-siang berikutnya, selalu ada salah seorang dari kita yang bangun paling awal dan kemudian memasang daftarputar lagu-lagu yang akan mempermudah otak penghuni kamar lainnya untuk segera bekerja dengan waras pascapesta kecil-kecilan malam sebelumnya.
Di pagi-pagi lainnya, entahlah, tak terlalu banyak yang kita lakukan selain hanya menikmati cahaya mentari yang mengendap masuk kamar di pelosok Bandung Utara yang kerap kita jadikan posko darurat pelarian kebosanan.
Nyatanya, tak ada yang benar-benar ingin aku sampaikan lewat nota ini. Tidak secara induktif, deduktif, eksplisit ataupun implisit.
Aku tidak sedang bernostalgia dan merindu kalian. Aku tidak suka meromantisasikan perjalanan masa lampau.
Aku juga tak suka tidak berpura-pura tentang keemosionalan.
Aku masih mengenal kita sebagai pembual kelas ulung, sebagai segerombol Hyena yang selalu akan terus mengelabui dan mengabuabukan kesolidan pendirian orang-orang, juga gerombolan yang sama yang tertawa sinis kepada kebakuan.
Nyatanya kemudian, aku juga sedang membual di awal kalimat-kalimat terakhir tadi.
Cengkareng, 19 Mei 2012.
1930 WIB.
Friday, March 23, 2012
Alur Waktu (Episode Pertama)
23 Maret 2012; Pagi; Sepanjang jalan antara Cengkareng dan Bandung.
--------------------------------------------------------
Namanya Aria. Kesan yang pasti muncul pertama bertemu dia adalah keraguan untuk mencairkan kecanggungan yang mengetalase di setiap pergerakan tubuhnya.
Dia seperti kucing.
Aku mengenalnya dari Farrah, seseorang yang kini menjadi pasanganku. Dengan Aria, pada awal-awal pertemuan, tak sering aku berbincang. Hanya sesekali.
Adalah suatu malam di pangkal kaki jl. Setiabudhi Bandung ketika kali pertama kami berbagi minuman bersama di sebuah kedai, barulah aku tahu kalau dia tak sependiam itu. Banyak pula malam lainnya yang aku habiskan dengan lepasan tawa dengannya setelahnya.
Aku rasa dia kucing.
Saat aku harus berkompromi dengan pemenuhan kebahagian dan kebanggaan orang yang aku cintai dan mulai mencari kerja di Jakarta, kamar rentalan miliknyalah yang kerap aku singgahi. Sosok yang ramah dan mempersilakan, itulah tanggapanku tentangnya.
Di hari-hari terakhir dalam sebuah fase hidup saat aku mampu menyesap alkohol demi kesenangan dan bukannya demi kebutuhan pelarian diri, aku mengirim pesan singkat menanyakan bila dia sedang ada di kota yang sama malam itu. Dia jawab ya dan mengiyakan ajakanku untuk menghabiskan malam bersama.
Di sanalah dia, di sampingku, membantu menghapus embun yang menempel di kaca mobil yang kami naiki, yang sesekali harus sengaja dilajukan di tepi jalan karena deras hujan cukup membuat pandangan berkemudi kewalahan. Aku putuskan untuk tidak menyambangi kedai minum dan berinisiatif untuk membeli beberapa botol bir dan menghabiskannya di tempat terbuka; aku berpikir tentang taman atau kursi duduk pinggir jalan. Tak ada maksud apa-apa, hanya semacam ide acak yang kalaupun dia sanggah dan menggantinya dengan idenya, aku akan mengikutinya juga tanpa pikir panjang. Dia hanya menjawab, "ayo, boleh." Dan dialah Aria, seseorang yang bisa menyetujui dan menganggap semuanya seperti ide brilian.
Mungkin dia kucing.
Ada pembatasan peredaran minuman beralkohol di kota Bandung kala itu. Masa di mana sangat susah mendapatkannya di toserba 24 jam manapun. Berputar-putarlah kami menyinggahi setiap warung non-stop yang bebrapa bulan sebelumnya masih menjual minuman bermalta-ragi dengan bebas. Sampai pada akhirnya kami bisa mendapatkannya di sebuah toserba di bilangan Setiabudhi. Kami menepi. Hujan belum berhenti. Kami duduk di teras toserba.
Belum genap semenit, kami sudah mendapati diri kami terlibat dalam obrolan-obrolan ringan dan senyumpun sudah bersunggingan silih berganti dan kerap berbarengan di masing-masing pipi kami. Dia bukan seorang pemalu dan pecanggung, aku yakini untuk kesekian kalinya kepada diriku sendiri, dia selalu menjadi sosok ramah dan mempersilakan.
Dia memang kucing!
Sampailah masing-masing dari kami pada tegukan terakhir botol besar (Bintang punyanya dan Anker punyaku) yang pemulung-botol-yang-dengan-setia-menunggui-hingga-tiap-botol-tandas tahu itu botol ke-berapa.
Berbekal rona di pipi, dia mulai bercerita tentang permepuan-perempuan yang dia sukai, tentang perempuan yang dia sukai ternyata tak menyukai dia balik, tentang perempuan yang dia sukai dan menyukainya balik namun si perempuan telah terlanjur terikat hubungan dengan teman yang sudah cukup dekat dengannya.
Dia juga bercerita, semacam melakukan pengakuan, tentang sesuatu yang menurutnya kala itu akan mengagetkanku. Intinya, semua memuara ke kondisi betapa beruntungnya aku yang bisa mendapati Farrah selalu ada di sisiku. Tak sedikitpun aku terkejut. Lelaki selalu lebih tahu apa-apa yang menguntit di belakang perempuan mereka. Bukan karena terkaan, tapi logika yang akan juga dipakainya untuk menguntit seorang perempuan.
Aku tak bisa menceritakan detilnya; terlanjur sepakat untuk membuatnya sebagai rahasia.
"Satu hal adalah bahwa aku tak akan bisa meminta lebih dari apa yang perempuan itu berikan," ujarku.
Obrolan terus berlanjut.
Debat kecil tentang tempat yang paling harus dikunjungi sebelum kami mati.
Kelakar ringan yang membuat kami tergelak ketika kami yakini bahwa kami tidak sedang menyerah, tetapi sedang pura-pura tidur dan sementara itu menjadi duri dalam daging; Entahlah, klise memang, tapi kami percaya bahwa kami belum cukup tua untuk kelak menjadikan dasi yang kami pakai sebagai tak lebih dari perban penutup bukaan luka di punggung buku jari kami sehabis memukulpecah cermin yang kami gunakan. Aku tahu itu bukan kelakar, itu adalah janji.
Pagi menjelang, pengalor-kidulan berhilir di sebuah ikhtisar singkat yang kurang lebih mem-vokalkan mengenai betapa hidup adalah kalkulasi dan akumulasi dari kompromi dan pewajaran, yang kerap membuat kami geram, kecewa dan pada akhirnya mengamininya juga.
Kami akan bertemu lagi ketika kami sama-sama menjadi kucing liar.
"Untuk hidup dan apa yang akan terjadi selanjutnya."
Kata-kata itulah yang tadinya mau ku katakan padanya di sulangan botol bir terakhir kami, sebelum dia mulai membuka bibir dan dengan tersipu akhirnya angkat bicara,
"Untuk semuanya."
--------------------------------------------------------
Namanya Aria. Kesan yang pasti muncul pertama bertemu dia adalah keraguan untuk mencairkan kecanggungan yang mengetalase di setiap pergerakan tubuhnya.
Dia seperti kucing.
Aku mengenalnya dari Farrah, seseorang yang kini menjadi pasanganku. Dengan Aria, pada awal-awal pertemuan, tak sering aku berbincang. Hanya sesekali.
Adalah suatu malam di pangkal kaki jl. Setiabudhi Bandung ketika kali pertama kami berbagi minuman bersama di sebuah kedai, barulah aku tahu kalau dia tak sependiam itu. Banyak pula malam lainnya yang aku habiskan dengan lepasan tawa dengannya setelahnya.
Aku rasa dia kucing.
Saat aku harus berkompromi dengan pemenuhan kebahagian dan kebanggaan orang yang aku cintai dan mulai mencari kerja di Jakarta, kamar rentalan miliknyalah yang kerap aku singgahi. Sosok yang ramah dan mempersilakan, itulah tanggapanku tentangnya.
Di hari-hari terakhir dalam sebuah fase hidup saat aku mampu menyesap alkohol demi kesenangan dan bukannya demi kebutuhan pelarian diri, aku mengirim pesan singkat menanyakan bila dia sedang ada di kota yang sama malam itu. Dia jawab ya dan mengiyakan ajakanku untuk menghabiskan malam bersama.
Di sanalah dia, di sampingku, membantu menghapus embun yang menempel di kaca mobil yang kami naiki, yang sesekali harus sengaja dilajukan di tepi jalan karena deras hujan cukup membuat pandangan berkemudi kewalahan. Aku putuskan untuk tidak menyambangi kedai minum dan berinisiatif untuk membeli beberapa botol bir dan menghabiskannya di tempat terbuka; aku berpikir tentang taman atau kursi duduk pinggir jalan. Tak ada maksud apa-apa, hanya semacam ide acak yang kalaupun dia sanggah dan menggantinya dengan idenya, aku akan mengikutinya juga tanpa pikir panjang. Dia hanya menjawab, "ayo, boleh." Dan dialah Aria, seseorang yang bisa menyetujui dan menganggap semuanya seperti ide brilian.
Mungkin dia kucing.
Ada pembatasan peredaran minuman beralkohol di kota Bandung kala itu. Masa di mana sangat susah mendapatkannya di toserba 24 jam manapun. Berputar-putarlah kami menyinggahi setiap warung non-stop yang bebrapa bulan sebelumnya masih menjual minuman bermalta-ragi dengan bebas. Sampai pada akhirnya kami bisa mendapatkannya di sebuah toserba di bilangan Setiabudhi. Kami menepi. Hujan belum berhenti. Kami duduk di teras toserba.
Belum genap semenit, kami sudah mendapati diri kami terlibat dalam obrolan-obrolan ringan dan senyumpun sudah bersunggingan silih berganti dan kerap berbarengan di masing-masing pipi kami. Dia bukan seorang pemalu dan pecanggung, aku yakini untuk kesekian kalinya kepada diriku sendiri, dia selalu menjadi sosok ramah dan mempersilakan.
Dia memang kucing!
Sampailah masing-masing dari kami pada tegukan terakhir botol besar (Bintang punyanya dan Anker punyaku) yang pemulung-botol-yang-dengan-setia-menunggui-hingga-tiap-botol-tandas tahu itu botol ke-berapa.
Berbekal rona di pipi, dia mulai bercerita tentang permepuan-perempuan yang dia sukai, tentang perempuan yang dia sukai ternyata tak menyukai dia balik, tentang perempuan yang dia sukai dan menyukainya balik namun si perempuan telah terlanjur terikat hubungan dengan teman yang sudah cukup dekat dengannya.
Dia juga bercerita, semacam melakukan pengakuan, tentang sesuatu yang menurutnya kala itu akan mengagetkanku. Intinya, semua memuara ke kondisi betapa beruntungnya aku yang bisa mendapati Farrah selalu ada di sisiku. Tak sedikitpun aku terkejut. Lelaki selalu lebih tahu apa-apa yang menguntit di belakang perempuan mereka. Bukan karena terkaan, tapi logika yang akan juga dipakainya untuk menguntit seorang perempuan.
Aku tak bisa menceritakan detilnya; terlanjur sepakat untuk membuatnya sebagai rahasia.
"Satu hal adalah bahwa aku tak akan bisa meminta lebih dari apa yang perempuan itu berikan," ujarku.
Obrolan terus berlanjut.
Debat kecil tentang tempat yang paling harus dikunjungi sebelum kami mati.
Kelakar ringan yang membuat kami tergelak ketika kami yakini bahwa kami tidak sedang menyerah, tetapi sedang pura-pura tidur dan sementara itu menjadi duri dalam daging; Entahlah, klise memang, tapi kami percaya bahwa kami belum cukup tua untuk kelak menjadikan dasi yang kami pakai sebagai tak lebih dari perban penutup bukaan luka di punggung buku jari kami sehabis memukulpecah cermin yang kami gunakan. Aku tahu itu bukan kelakar, itu adalah janji.
Pagi menjelang, pengalor-kidulan berhilir di sebuah ikhtisar singkat yang kurang lebih mem-vokalkan mengenai betapa hidup adalah kalkulasi dan akumulasi dari kompromi dan pewajaran, yang kerap membuat kami geram, kecewa dan pada akhirnya mengamininya juga.
Kami akan bertemu lagi ketika kami sama-sama menjadi kucing liar.
"Untuk hidup dan apa yang akan terjadi selanjutnya."
Kata-kata itulah yang tadinya mau ku katakan padanya di sulangan botol bir terakhir kami, sebelum dia mulai membuka bibir dan dengan tersipu akhirnya angkat bicara,
"Untuk semuanya."
Tuesday, January 31, 2012
Rencana.
31 Januari 2012
12:35
-------------------------------------------------------------------------------------
"Hidup adalah apa yang terjadi padamu saat kau sibuk merencanakan hal-hal lain," pungkas John Lennon.
12:35
-------------------------------------------------------------------------------------
"Hidup adalah apa yang terjadi padamu saat kau sibuk merencanakan hal-hal lain," pungkas John Lennon.
Jurnal Pasca Sebotol Malta Beragi.
31 Januari 2012
Sembari mendengarkan dengungan sebuah gita bertajuk Deep Love yang dipopulerkan oleh Mandalay..
------------------------------------------------------------------------------------
Arthur: Porquoi?
Verlaine: Puisque c'est que les auteurs font.
Arthur: Je ne pouvais pas me soucier moins d'être publié. La seule chose qui les questions {affaires} sont l'écriture lui-même.. Tout le reste est la littérature.
Arthur: Mengapa?
Verlaine: Karena itulah yang dilakukan penulis.
Arthur: Saya tak bisa lebih peduli tentang melakukannya. Satu-satunya hal yang berarti (dari menulis) adalah menulis itu sendiri.. Sisanya adalah literatur.
(Arthur Rimbaud, saat diberi saran oleh Paul Verlaine untuk menerbitkan tulisannya)
Hasrat adalah esensi, adalah nyawa, bagi individu untuk melakukan aksi. Apapun itu.
Hasrat adalah apa yang nantinya menghasilkan pemuasan. Batiniah, lahiriah, apapun-iah.
Dalam pemenuhannya, kerap individu mesti entah-berapa-kali berkompromi dengan premis-premis, dengan variabel-variabel, dengan alasan-alasan, dengan pemenuhan hasrat individu lainnya.
Kerap individu mesti berkomunikasi dengan dirinya, tentang nilai, tentang keidealan, tentang nilai, tentang kesepatutnyaan, tentang nilai, tentang kesepantasnyaan, tentang nilai, tentang keseharusnyaan, tentang nilai, tentang nilai, tentang keseharusnyaan, tentang bertabrakannya hasrat dan nilai, tentang bergumulnya pikiran individu tersebut. Tentang apa saja.
"I understood that what i needed to become the first poet of this century was to experience everything in my body. It was no longer enough for me to be one person. I decided to be everybody."
Sembari mendengarkan dengungan sebuah gita bertajuk Deep Love yang dipopulerkan oleh Mandalay..
------------------------------------------------------------------------------------
Arthur: Porquoi?
Verlaine: Puisque c'est que les auteurs font.
Arthur: Je ne pouvais pas me soucier moins d'être publié. La seule chose qui les questions {affaires} sont l'écriture lui-même.. Tout le reste est la littérature.
Arthur: Mengapa?
Verlaine: Karena itulah yang dilakukan penulis.
Arthur: Saya tak bisa lebih peduli tentang melakukannya. Satu-satunya hal yang berarti (dari menulis) adalah menulis itu sendiri.. Sisanya adalah literatur.
(Arthur Rimbaud, saat diberi saran oleh Paul Verlaine untuk menerbitkan tulisannya)
Hasrat adalah esensi, adalah nyawa, bagi individu untuk melakukan aksi. Apapun itu.
Hasrat adalah apa yang nantinya menghasilkan pemuasan. Batiniah, lahiriah, apapun-iah.
Dalam pemenuhannya, kerap individu mesti entah-berapa-kali berkompromi dengan premis-premis, dengan variabel-variabel, dengan alasan-alasan, dengan pemenuhan hasrat individu lainnya.
Kerap individu mesti berkomunikasi dengan dirinya, tentang nilai, tentang keidealan, tentang nilai, tentang kesepatutnyaan, tentang nilai, tentang kesepantasnyaan, tentang nilai, tentang keseharusnyaan, tentang nilai, tentang nilai, tentang keseharusnyaan, tentang bertabrakannya hasrat dan nilai, tentang bergumulnya pikiran individu tersebut. Tentang apa saja.
"I understood that what i needed to become the first poet of this century was to experience everything in my body. It was no longer enough for me to be one person. I decided to be everybody."
Tuesday, August 16, 2011
A Full-(life)time Stranger.
August 16 2011.
--------------------------------------------------------------------------------
You're somewhat of a stranger.
That's what keeps me want to get closer/
The incompleteness of knowing and finding ways to show.
The incompleteness of showing and getting to know/
When it comes to questions, i can always relate to your answers.
When it comes to hesitations, your soft palms on mine is the only thing that matters/
The hell with their smear, it's the last of things i want to listen to.
Oh, dear, i sure have got my whole lifetime to get acquainted with you/
--------------------------------------------------------------------------------
You're somewhat of a stranger.
That's what keeps me want to get closer/
The incompleteness of knowing and finding ways to show.
The incompleteness of showing and getting to know/
When it comes to questions, i can always relate to your answers.
When it comes to hesitations, your soft palms on mine is the only thing that matters/
The hell with their smear, it's the last of things i want to listen to.
Oh, dear, i sure have got my whole lifetime to get acquainted with you/
Subscribe to:
Posts (Atom)