Friday, March 23, 2012

Alur Waktu (Episode Pertama)

23 Maret 2012; Pagi; Sepanjang jalan antara Cengkareng dan Bandung.
--------------------------------------------------------

Namanya Aria. Kesan yang pasti muncul pertama bertemu dia adalah keraguan untuk mencairkan kecanggungan yang mengetalase di setiap pergerakan tubuhnya.
Dia seperti kucing.

Aku mengenalnya dari Farrah, seseorang yang kini menjadi pasanganku. Dengan Aria, pada awal-awal pertemuan, tak sering aku berbincang. Hanya sesekali.
Adalah suatu malam di pangkal kaki jl. Setiabudhi Bandung ketika kali pertama kami berbagi minuman bersama di sebuah kedai, barulah aku tahu kalau dia tak sependiam itu. Banyak pula malam lainnya yang aku habiskan dengan lepasan tawa dengannya setelahnya.
Aku rasa dia kucing.

Saat aku harus berkompromi dengan pemenuhan kebahagian dan kebanggaan orang yang aku cintai dan mulai mencari kerja di Jakarta, kamar rentalan miliknyalah yang kerap aku singgahi. Sosok yang ramah dan mempersilakan, itulah tanggapanku tentangnya.

Di hari-hari terakhir dalam sebuah fase hidup saat aku mampu menyesap alkohol demi kesenangan dan bukannya demi kebutuhan pelarian diri, aku mengirim pesan singkat menanyakan bila dia sedang ada di kota yang sama malam itu. Dia jawab ya dan mengiyakan ajakanku untuk menghabiskan malam bersama.
Di sanalah dia, di sampingku, membantu menghapus embun yang menempel di kaca mobil yang kami naiki, yang sesekali harus sengaja dilajukan di tepi jalan karena deras hujan cukup membuat pandangan berkemudi kewalahan. Aku putuskan untuk tidak menyambangi kedai minum dan berinisiatif untuk membeli beberapa botol bir dan menghabiskannya di tempat terbuka; aku berpikir tentang taman atau kursi duduk pinggir jalan. Tak ada maksud apa-apa, hanya semacam ide acak yang kalaupun dia sanggah dan menggantinya dengan idenya, aku akan mengikutinya juga tanpa pikir panjang. Dia hanya menjawab, "ayo, boleh." Dan dialah Aria, seseorang yang bisa menyetujui dan menganggap semuanya seperti ide brilian.
Mungkin dia kucing.

Ada pembatasan peredaran minuman beralkohol di kota Bandung kala itu. Masa di mana sangat susah mendapatkannya di toserba 24 jam manapun. Berputar-putarlah kami menyinggahi setiap warung non-stop yang bebrapa bulan sebelumnya masih menjual minuman bermalta-ragi dengan bebas. Sampai pada akhirnya kami bisa mendapatkannya di sebuah toserba di bilangan Setiabudhi. Kami menepi. Hujan belum berhenti. Kami duduk di teras toserba.
Belum genap semenit, kami sudah mendapati diri kami terlibat dalam obrolan-obrolan ringan dan senyumpun sudah bersunggingan silih berganti dan kerap berbarengan di masing-masing pipi kami. Dia bukan seorang pemalu dan pecanggung, aku yakini untuk kesekian kalinya kepada diriku sendiri, dia selalu menjadi sosok ramah dan mempersilakan.
Dia memang kucing!

Sampailah masing-masing dari kami pada tegukan terakhir botol besar (Bintang punyanya dan Anker punyaku) yang pemulung-botol-yang-dengan-setia-menunggui-hingga-tiap-botol-tandas tahu itu botol ke-berapa.

Berbekal rona di pipi, dia mulai bercerita tentang permepuan-perempuan yang dia sukai, tentang perempuan yang dia sukai ternyata tak menyukai dia balik, tentang perempuan yang dia sukai dan menyukainya balik namun si perempuan telah terlanjur terikat hubungan dengan teman yang sudah cukup dekat dengannya.
Dia juga bercerita, semacam melakukan pengakuan, tentang sesuatu yang menurutnya kala itu akan mengagetkanku. Intinya, semua memuara ke kondisi betapa beruntungnya aku yang bisa mendapati Farrah selalu ada di sisiku. Tak sedikitpun aku terkejut. Lelaki selalu lebih tahu apa-apa yang menguntit di belakang perempuan mereka. Bukan karena terkaan, tapi logika yang akan juga dipakainya untuk menguntit seorang perempuan.
Aku tak bisa menceritakan detilnya; terlanjur sepakat untuk membuatnya sebagai rahasia.
"Satu hal adalah bahwa aku tak akan bisa meminta lebih dari apa yang perempuan itu berikan," ujarku.
Obrolan terus berlanjut.
Debat kecil tentang tempat yang paling harus dikunjungi sebelum kami mati.
Kelakar ringan yang membuat kami tergelak ketika kami yakini bahwa kami tidak sedang menyerah, tetapi sedang pura-pura tidur dan sementara itu menjadi duri dalam daging; Entahlah, klise memang, tapi kami percaya bahwa kami belum cukup tua untuk kelak menjadikan dasi yang kami pakai sebagai tak lebih dari perban penutup bukaan luka di punggung buku jari kami sehabis memukulpecah cermin yang kami gunakan. Aku tahu itu bukan kelakar, itu adalah janji.
Pagi menjelang, pengalor-kidulan berhilir di sebuah ikhtisar singkat yang kurang lebih mem-vokalkan mengenai betapa hidup adalah kalkulasi dan akumulasi dari kompromi dan pewajaran, yang kerap membuat kami geram, kecewa dan pada akhirnya mengamininya juga.

Kami akan bertemu lagi ketika kami sama-sama menjadi kucing liar.

"Untuk hidup dan apa yang akan terjadi selanjutnya."
Kata-kata itulah yang tadinya mau ku katakan padanya di sulangan botol bir terakhir kami, sebelum dia mulai membuka bibir dan dengan tersipu akhirnya angkat bicara,
"Untuk semuanya."

No comments:

Post a Comment