Tuesday, April 27, 2010

Shai Hulud are Asking Indonesia to Dance, Baby!!

April 27th.
GRREEEEEEWWWWWWWLLLLLL!!!!!!!!!!!!
-------------------------------------------------------------------------------------


SUPERB NEWS!



That's not it! see the flyer below??
no? zoom it in!



yeah, that's what i mean!!
my band's gonna share gig with them!
WHOAA, CAN YOU JUST BE HAPPY FOR ME? :D :D

Seringai's "Generasi Menolak Tua" DVD launching event.

april 27th.
loovveelllyyy!
-------------------------------------------------------------------------------------


i just can't wait for this weekend!
sweat, hoarseness and liquid are what i'm gonna have!

Saturday, April 24, 2010

a guide for a broken heart. (in reference to Charlie Fink)

April 24th.
While wondering what Charlie Fink did feel when He was recording The First Days of Spring.
------------------------------------------------------------------------------------



when you're in love, nothing scares you in the whole universe but one thing: heartbreak.


our window
and we both know that it's over, but we both are not ready. and you're talking like a stranger, so i don't know what to do.
well i don't think that it's the end, but i know we can't keep going.


slow glass
well i never tried to change you, honey i'm your biggest fan. and i loved you back then, but i don't recognize you now.


i have nothing
i'm the flower you're keeping, that without love will wilt and die.
i'd do anything to be at your side, i'd be anyone to be at you side.
so come back to me, i need your light in my life.


my door is always open
i love with my heart and i hold it in my hands, but you know, my heart is not yours. well you have only left me down but, yeah, my door is always open.


blue skies
this is a song for anyone with a broken heart. this is a song for anyone who can't get out of bed.
this is the last song that i write while still in love with you.
i don't think that it's the end but i know we can't keep going.


Wednesday, April 21, 2010

cocaine, heroine and what they mean to do.

April 21st.
01:11 pm.
While listening to The Stone Roses's The Hardest Thing In The World.
------------------------------------------------------------------------------------



Tuesday, April 20, 2010

the ambivalence.

april 20th.
while listening to Blur's Charmless Man.



i don't know, it's like the feeling when you notice that you've become a terribly lazy kinda. or maybe more to an indolently slacker kind of ones, but really, you don't know what you should do about it.

i seemed to enjoy the awesomeness of being slothful (in doing compulsory tasks like academical or tidyness stuff), of getting bombed, of doing gigs-hopping, of wasting my times in front of the laptop downloading and surfing, of doing nothing a day long.
yet, i also noticed that i can't go on like this, i mean, yeah i still have to do youth stuff and have fun, but not without ignoring the obligations i held regarding my responsibilities to the ones who support my living stuff. know what i mean?








after all, it's like an ambivalence or something.

Saturday, April 17, 2010

atmosfiris.

sebuah re-publikasi tulisan yang pernah dimuat di Ripple Magazine edisi.. ah, saya lupa edisi berapa.

-----------------------------------------------------------------------------------

“And you’ve been so busy lately that you haven’t found the time to open up your mind and watch the world spinning gently out of time..” – Blur


Pernah dahulu, ketika topi merah bertuliskan “Tut Wuri Handayani” masih menjadi primadona dan outfit pilihan utama di jajaran topi-topi lainnya, saya terduduk sendiri lengkap dengan kaos kaki panjang dan sepatu bola, kaos olahraga sekolah berwarna biru telur asin, celana tim bola Manchester United serta tas gendong berisi kempis air minum dan bekal makanan di sebuah Tupperware. Pagi itu, minggu pagi yang agak mendung itu, kira-kira pukul 09.00 saya sudah berada di lapangan berrumputkan beton yang berlokasi di dalam wilayah sebuah Sekolah Dasar di bilangan jalan Rajawali Bandung, menendang-nendang bola sendiri. Alasan kedatangan saya ke sekolah pada hari Minggu itu adalah untuk bermain bola bersama teman. Sekitar sepuluh orang sudah dikoordinasikan pada hari Sabtu siang selepas kegiatan Pramuka untuk bertemu di sekolah pada sekitar pukul 09.00 pagi keesokan harinya. Satu demi satu teman-teman saya berdatangan, sampai saat jarum-jarum jam dinding besar di depan ruang guru menunjukkan pukul 10.00, tinggal tersisa satu orang kawan bernama Lanang yang belum terlihat batang hidungnya. Sambil menunggu, kami putuskan untuk membagi jumlah anak-anak yang sudah hadir ke dalam dua tim. Lagi-lagi jempol-telunjuk-kelingking berbicara, memutuskan tim mana yang akan mendapatkan pemain penuh 5 orang dan mana yang akan bermain dengan 4 orang saja sampai Lanang datang. Sepak-sepakan bola pun berlangsung dan di tengah-tengah permainan terdengar teriakan dari suara yang tak asing lagi, “Urang abus Beulah mana?!!” (“Saya tim mana?” -Red.) teriak Lanang dari pintu masuk sekolah menanyakan tim manakah kiranya yang harus Ia gabungi. Saya tersenyum melihat Lanang, celana sepakbolanya berwarna belang kegelapan di beberapa bagian sebagai tanda bahwa celana itu sempat terguyur air hujan dan kaos olahraganya bercapkan sebuah garis lurus di punggung sebagai akibat dari percikan genangan lumpur dan air hujan yang ditinggalkan ban belakang sepedanya. Rupanya guyuran hujan dari arah Bale Endah Bandung (sekitar 20 kilometer jaraknya dari sekolah) menghalanginya untuk datang tepat waktu di SD YWKA jalan Rajawali Bandung. Tepat pukul 11.00 Lanang datang dan kira-kira 15 menit kemudian hujan turun membahasi sekolah kami dan kali ini, hujan ini, tak dapat menghalangi Lanang dari semangatnya mengocek bola dan menyarangkannya di gawang lawan.

Pernah dahulu, ketika seragam putih-biru masih dengan setianya melekat di badan kerempeng saya di sebuah Rabu siang di bilangan jalan Pajajaran Bandung, saat itu saya sedang dekat dengan seorang gadis, ya katakanlah namanya Gita karena memang namanya itu, yang juga bersekolah di tempat yang sama. Karena keterbatasan sarana komunikasi elektronik kala itu, maka sepucuk surat pun kami jadikan media untuk berkomunikasi. Setidaknya setiap dua hari sekali selama dua caturwulan kami selalu janjian di sebuah tempat untuk bertukar surat. Adalah warung yang menjual jajanan gorengan di pojok timur sekolah itu, yang setiap Senin, Rabu dan Jumat siangnya kami jadikan tempat bertemu. Tak ada Senin siang yang terlewatkan, tak ada Rabu siang yang tak tersiangi dengan senyuman dan tak ada Jumat siang yang tak jadi siang. Siang, karena siang adalah waktu pergantian shift kelas belajar pagi dan kelas belajar siang. Kami berdua tak pernah dijodohkan untuk dapat bertemu di shift yang sama, selalu saja berbeda, kalau dia kebagian kelas pagi maka saya siangnya, begitu pula sebaliknya. Kala itu, ketika degup jantung semakin berdetak kencang oleh sebuah kisah asmara awal masa pubertas, keterbatasan sarana telekomunikasi adalah satu-satunya hal yang membatasi gebu perasaan dua insan remaja yang tengah kasmaran. Seringkali saya dapati diri saya mengumpat secara serapah mereka, teman-teman SMP saya lainnya, yang orangtuanya memunyai cukup materi untuk membelikan mereka ponsel.

At present, beberapa minggu ke belakang, saya seakan dihantui oleh momen-momen itu, masa-masa di mana sedikit sekali janji yang terlanggar, masa-masa di mana keminimalitasan intensitas pertemuan atau komunikasi bagi dua orang yang sedang memadu kasih menjadi pemicu kerinduan yang lebih kuat dari model pacaran yang sarat akan keberadaan media komunikasi mutakhir dewasa ini, masa-masa di mana Lanang tak menghiraukan hujan yang mengguyur di kilometer ke-20 perjalanannya ke sebuah janji yang telah kami sepakati bersama, masa-masa di mana tak ada media yang dapat dijadikan tameng untuk melanggar sebuah janji dengan sekadar pesan tekstual: “Sorry, hujan gede! Ketemuannya tar sorean aja. ;-p .lol.”, masa-masa di mana saya masih anak berumur 10 tahun yang sedang menendang-nendang bola di lapangan sebuah Sekolah Dasar dan dengan sabar menunggu selalu yakin bahwa teman-temannya PASTI akan datang, masa-masa di mana saya tengah berbaring terlentang memandangi langit-langit kamar sambil mendengarkan lagu I’ll Be There-nya The Rembrandts yang diputar lewat radio dan membayangkan sedang apa kiranya si do’i pujaan hati di bagian kota Bandung sebelah sana, masa-masa di mana berduaan dengan pacar adalah: saya, kamu dan cukup satu strawberry popsicle tanpa BlackBerry, masa-masa di mana kamu lebih memilih menautkan jari-jarimu ke jari-jari saya daripada menautkannya ke sebuah gadget, masa-masa di mana kamu tidak menggunakan earphone iPod-mu saat saya tanya tentang bagaimana harimu berjalan, masa-masa di mana semua tema obrolan adalah penting untung disimak dan tak ada media elektronik untuk mengalihkan perhatianmu, masa-masa di mana segalanya tak terlalu terfasilitasi, masa-masa di mana kamu lebih memilih menggunakan jempol kamu untuk mengusap-hapuskan sisa saus tomat yang tersisa di mulut saya daripada menggunakannya untuk meng-scroll ke atas dan ke bawah ponsel 24-jam-online-terus-mu.

Ah, saya melamun, ya saya melamun, tentang masa-masa di mana saya belum berpikiran bahwa teknologi itu menyebalkan.