Saturday, April 17, 2010

atmosfiris.

sebuah re-publikasi tulisan yang pernah dimuat di Ripple Magazine edisi.. ah, saya lupa edisi berapa.

-----------------------------------------------------------------------------------

“And you’ve been so busy lately that you haven’t found the time to open up your mind and watch the world spinning gently out of time..” – Blur


Pernah dahulu, ketika topi merah bertuliskan “Tut Wuri Handayani” masih menjadi primadona dan outfit pilihan utama di jajaran topi-topi lainnya, saya terduduk sendiri lengkap dengan kaos kaki panjang dan sepatu bola, kaos olahraga sekolah berwarna biru telur asin, celana tim bola Manchester United serta tas gendong berisi kempis air minum dan bekal makanan di sebuah Tupperware. Pagi itu, minggu pagi yang agak mendung itu, kira-kira pukul 09.00 saya sudah berada di lapangan berrumputkan beton yang berlokasi di dalam wilayah sebuah Sekolah Dasar di bilangan jalan Rajawali Bandung, menendang-nendang bola sendiri. Alasan kedatangan saya ke sekolah pada hari Minggu itu adalah untuk bermain bola bersama teman. Sekitar sepuluh orang sudah dikoordinasikan pada hari Sabtu siang selepas kegiatan Pramuka untuk bertemu di sekolah pada sekitar pukul 09.00 pagi keesokan harinya. Satu demi satu teman-teman saya berdatangan, sampai saat jarum-jarum jam dinding besar di depan ruang guru menunjukkan pukul 10.00, tinggal tersisa satu orang kawan bernama Lanang yang belum terlihat batang hidungnya. Sambil menunggu, kami putuskan untuk membagi jumlah anak-anak yang sudah hadir ke dalam dua tim. Lagi-lagi jempol-telunjuk-kelingking berbicara, memutuskan tim mana yang akan mendapatkan pemain penuh 5 orang dan mana yang akan bermain dengan 4 orang saja sampai Lanang datang. Sepak-sepakan bola pun berlangsung dan di tengah-tengah permainan terdengar teriakan dari suara yang tak asing lagi, “Urang abus Beulah mana?!!” (“Saya tim mana?” -Red.) teriak Lanang dari pintu masuk sekolah menanyakan tim manakah kiranya yang harus Ia gabungi. Saya tersenyum melihat Lanang, celana sepakbolanya berwarna belang kegelapan di beberapa bagian sebagai tanda bahwa celana itu sempat terguyur air hujan dan kaos olahraganya bercapkan sebuah garis lurus di punggung sebagai akibat dari percikan genangan lumpur dan air hujan yang ditinggalkan ban belakang sepedanya. Rupanya guyuran hujan dari arah Bale Endah Bandung (sekitar 20 kilometer jaraknya dari sekolah) menghalanginya untuk datang tepat waktu di SD YWKA jalan Rajawali Bandung. Tepat pukul 11.00 Lanang datang dan kira-kira 15 menit kemudian hujan turun membahasi sekolah kami dan kali ini, hujan ini, tak dapat menghalangi Lanang dari semangatnya mengocek bola dan menyarangkannya di gawang lawan.

Pernah dahulu, ketika seragam putih-biru masih dengan setianya melekat di badan kerempeng saya di sebuah Rabu siang di bilangan jalan Pajajaran Bandung, saat itu saya sedang dekat dengan seorang gadis, ya katakanlah namanya Gita karena memang namanya itu, yang juga bersekolah di tempat yang sama. Karena keterbatasan sarana komunikasi elektronik kala itu, maka sepucuk surat pun kami jadikan media untuk berkomunikasi. Setidaknya setiap dua hari sekali selama dua caturwulan kami selalu janjian di sebuah tempat untuk bertukar surat. Adalah warung yang menjual jajanan gorengan di pojok timur sekolah itu, yang setiap Senin, Rabu dan Jumat siangnya kami jadikan tempat bertemu. Tak ada Senin siang yang terlewatkan, tak ada Rabu siang yang tak tersiangi dengan senyuman dan tak ada Jumat siang yang tak jadi siang. Siang, karena siang adalah waktu pergantian shift kelas belajar pagi dan kelas belajar siang. Kami berdua tak pernah dijodohkan untuk dapat bertemu di shift yang sama, selalu saja berbeda, kalau dia kebagian kelas pagi maka saya siangnya, begitu pula sebaliknya. Kala itu, ketika degup jantung semakin berdetak kencang oleh sebuah kisah asmara awal masa pubertas, keterbatasan sarana telekomunikasi adalah satu-satunya hal yang membatasi gebu perasaan dua insan remaja yang tengah kasmaran. Seringkali saya dapati diri saya mengumpat secara serapah mereka, teman-teman SMP saya lainnya, yang orangtuanya memunyai cukup materi untuk membelikan mereka ponsel.

At present, beberapa minggu ke belakang, saya seakan dihantui oleh momen-momen itu, masa-masa di mana sedikit sekali janji yang terlanggar, masa-masa di mana keminimalitasan intensitas pertemuan atau komunikasi bagi dua orang yang sedang memadu kasih menjadi pemicu kerinduan yang lebih kuat dari model pacaran yang sarat akan keberadaan media komunikasi mutakhir dewasa ini, masa-masa di mana Lanang tak menghiraukan hujan yang mengguyur di kilometer ke-20 perjalanannya ke sebuah janji yang telah kami sepakati bersama, masa-masa di mana tak ada media yang dapat dijadikan tameng untuk melanggar sebuah janji dengan sekadar pesan tekstual: “Sorry, hujan gede! Ketemuannya tar sorean aja. ;-p .lol.”, masa-masa di mana saya masih anak berumur 10 tahun yang sedang menendang-nendang bola di lapangan sebuah Sekolah Dasar dan dengan sabar menunggu selalu yakin bahwa teman-temannya PASTI akan datang, masa-masa di mana saya tengah berbaring terlentang memandangi langit-langit kamar sambil mendengarkan lagu I’ll Be There-nya The Rembrandts yang diputar lewat radio dan membayangkan sedang apa kiranya si do’i pujaan hati di bagian kota Bandung sebelah sana, masa-masa di mana berduaan dengan pacar adalah: saya, kamu dan cukup satu strawberry popsicle tanpa BlackBerry, masa-masa di mana kamu lebih memilih menautkan jari-jarimu ke jari-jari saya daripada menautkannya ke sebuah gadget, masa-masa di mana kamu tidak menggunakan earphone iPod-mu saat saya tanya tentang bagaimana harimu berjalan, masa-masa di mana semua tema obrolan adalah penting untung disimak dan tak ada media elektronik untuk mengalihkan perhatianmu, masa-masa di mana segalanya tak terlalu terfasilitasi, masa-masa di mana kamu lebih memilih menggunakan jempol kamu untuk mengusap-hapuskan sisa saus tomat yang tersisa di mulut saya daripada menggunakannya untuk meng-scroll ke atas dan ke bawah ponsel 24-jam-online-terus-mu.

Ah, saya melamun, ya saya melamun, tentang masa-masa di mana saya belum berpikiran bahwa teknologi itu menyebalkan.

No comments:

Post a Comment